Ketika kemarahan pemuda dan bioskop bertemu

Kathmandu, 15 Oktober — Sejarah bisa sangat menarik, dan ‘1987: Ketika Hari Itu Tiba’ adalah salah satu film seperti itu. Karya utama Jang Joon-hwan tahun 2017 mengubah momen yang penuh ketegangan dalam sejarah Korea Selatan—kematian aktivis mahasiswa Park Jong-chul dan demonstrasi Demokrasi Juni yang mengikutinya—menjadi sebuah kesaksian cinematografi tentang keberanian. Film ini menangkap bagaimana satu tragedi, satu suara yang dibungkam, dan satu foto dapat memicu revolusi yang mengubah sebuah negara. Setelah era ini, Korea melompat maju secara cepat, menjadi mercusuar kemajuan demokratis dan vitalitas budaya.

Sebagai orang Nepal, film ini menyentuh secara menyakitkan. Kerusuhan yang meletus di Korea Selatan pada tahun 1987 mencerminkan demonstrasi tanggal 8 September 2025 di Nepal – gerakan yang dipimpin oleh pemuda yang menuntut kebenaran, kebebasan, dan pertanggungjawaban dari pemerintah. Meskipun berjarak beberapa dekade, kedua momen tersebut menunjukkan bahwa perjuangan untuk demokrasi sering kali dimulai dengan penutupan, suara yang dibungkam, dan seorang jurnalis berani yang mengungkapnya.

Kebebasan, kita menyadari, tidak diwarisi; ia terus-menerus dipertahankan. Sulit untuk percaya bahwa transformasi Korea terjadi hanya 38 tahun yang lalu. Melihat sejauh mana mereka berkembang membuat seseorang bertanya: Apakah kita bisa berharap yang sama untuk negara kita? Apakah Nepal akan berubah menjadi lebih baik?

Film ini merupakan studi yang luar biasa mengenai estetika represi dan perlawanan. Jang membangun dunianya melalui interior birokrasi dingin, ruang interogasi yang redup, dan kantor yang steril yang bertolak belakang dengan energi terang dan kacau dari jalan-jalan. Palet warna kamera berubah dari abu-abu redup kendali menjadi kuning hangat, hampir suci dari perayaan lilin.

Kontras ini memvisualisasikan apa yang dikatakan kritikus budaya dan filsuf Jerman Walter Benjamin sebagai “aura” kebenaran—cahaya yang muncul tepat di tempat gelap berusaha menguasai. Setiap komposisi terasa sengaja dibuat: mesin tik berbunyi seperti bom yang berdetak; asap dari gas air mata bercampur dengan napas mahasiswa yang berteriak. Melalui gambar-gambar ini, Jang menempatkan kita bukan hanya sebagai pengamat tetapi sebagai peserta moral dalam krisis yang sedang berlangsung.

Puncak emosional film terjadi selama pemakaman aktivis mahasiswa. Salju turun dengan diam saat abu yang seharusnya mengalir bebas ke sungai tetap terjebak di air dingin, tidak bisa bergerak. Ayahnya berlutut, tangan gemeternya mencampur abu itu agar bergerak. Ini adalah momen yang menyeramkan dari kesedihan yang membeku, yang menggambarkan sebuah bangsa yang tidak bisa melangkah maju hingga kebenaran dilepaskan. Metafora visual ini menangkap inti dari berkabung bersama: abu yang tak ingin bergerak menjadi cermin bagi masyarakat yang terjebak di bawah beban diamnya sendiri.

Nanti, kita melihat gambar lain yang terasa lama—sepatu yang berlumuran darah, ditinggalkan setelah kerusuhan. Sepatu-sepatu ini biasa saja, namun menyampaikan banyak hal. Secara alami, sepatu menyimpan kenangan pemakainya; melihatnya kosong berarti menghadapi biaya perubahan. Pada demonstrasi 8 September di Nepal juga, gambar-gambar serupa beredar—sepatu olahraga yang ditinggalkan, darah di jalan, barang-barang yang tersebar dari orang-orang yang tidak pernah kembali ke rumah. Di kedua negara tersebut, sepatu-sepatu itu menceritakan kisah yang sama secara diam-diam: bahwa demokrasi dibangun bukan dari kata-kata, tetapi dari nyawa-nyawa.

Salah satu aspek yang paling menyedihkan dari tahun 1987 dan setiap pemberontakan politik adalah bagaimana kejahatan dari beberapa orang merusak banyak kehidupan orang-orang tak bersalah. Ini selalu dimulai dengan hasrat seseorang untuk berkuasa, dan untuk mewujudkannya, mereka menemukan para pendukung yang diam, menyiksa, dan menipu. Mesin penindasan hanya membutuhkan sejumlah kecil tangan yang taat. Namun, seperti yang ditunjukkan film tersebut, selalu warga sipil yang jujur dan biasa saja yang membayar harga terberat. Ironisnya, banyak aktor senior film yang memainkan peran antagonis sebenarnya adalah aktivis protes dalam kehidupan nyata. Penampilan mereka memiliki bobot tambahan—sebuah refleksi tentang keterlibatan, pemulihan, dan ingatan.

Yang membedakan ‘1987’ dari drama sejarah lainnya adalah penggambaran jurnalisme sebagai mesin narasi dan pedoman moral. Film ini mengingatkan kita bahwa kebenaran bukanlah tindakan netral; itu adalah tindakan pemberontakan. Jurnalis yang mengungkap kasus penyiksaan bekerja di bawah sensor yang ketat dan menghadapi risiko penjara atau lebih buruk. Mereka diancam, diikuti, dan diamankan—namun mereka tetap bertahan. Mesin tik dan buku catatan mereka menjadi senjata yang lebih kuat daripada tongkat. Menyaksikan adegan-adegan ini, saya teringat pada jurnalis dalam protes September Nepal—mereka yang merekam kekerasan polisi, mencatat kematian, dan terus melaporkan berita. Melintasi dekade dan geografi, ceritanya selalu sama: ketika pemerintah takut pada rakyat, mereka akan menyerang pers terlebih dahulu.

Pada tahun 1987, sensor berbentuk tinta hitam dan judul berita yang dikendalikan negara. Di Nepal, bentuknya adalah pemutusan akses internet, kamera yang disita, dan penganiayaan. Alat yang berbeda, rasa takut yang sama. Alasannya sederhana: jurnalisme adalah jembatan antara orang-orang yang tertindas dan dunia; ia mengubah penderitaan pribadi menjadi kesadaran publik. Di Korea Selatan maupun Nepal, para jurnalis bukan hanya mencatat sejarah—mereka mengambil risiko segalanya agar sejarah bisa ditulis sama sekali. Biaya dari jurnalisme, maka, bukan hanya profesional; itu sangat manusiawi.

Dari sudut pandang budaya visual, penggambaran para jurnalis menyelundupkan berkas, para imam menyembunyikan dokumen, dan surat kabar mengungkap kebenaran menjadi tindakan pemberontakan sinematik. Media mencerminkan pesan: sinema, seperti jurnalisme, menjadi saksi. Pengambilan gambar yang panjang dan gerakan kamera yang gelisah mencerminkan denyut penyelidikan itu sendiri—sebuah mata yang tidak pernah berkedip, bahkan ketika menghadapi kekejaman.

‘1987: Ketika Hari Itu Tiba’ akhirnya melebihi settingnya. Ini bukan hanya cerita Korea; ini adalah cerita universal. Setiap negara, pada suatu titik, pernah mengalami versi sendiri dari ‘1987’-tahun ketika kebenaran dianggap sebagai kejahatan, mahasiswa berdarah demi kebebasan, dan jurnalis menjadi korban pertama dari kesadaran. Menyedihkan bagaimana sejarah berulang, tetapi ada harapan dalam pengulangan itu: setiap kali, generasi baru bangkit untuk memperoleh apa yang secara sah menjadi milik mereka.

Film ini membuat Anda merasa bangga—meskipun Anda bukan orang Korea—karena mengingatkan Anda bahwa semangat manusia tidak memiliki batas. Film ini memanggil empati di antara negara-negara, mengajak kita melihat diri kita sendiri dalam revolusi orang lain. Ini adalah salah satu film paling kuat yang ada, bukan hanya karena karyanya tetapi juga karena keberaniannya. Pada masa ketika kebenaran kembali diserang di seluruh dunia, ‘1987: Ketika Hari Itu Tiba’ berdiri sebagai seni sekaligus peringatan: sejarah mungkin tidak akan terulang secara persis, tetapi biaya dari diam selalu sama.

1987: Ketika Hari Itu Tiba

Direktur: Jang Joon-hwan

Pemeran: Kim Yoon-seok, Ha Jung-woo, Yoo Hae-jin, Kim Tae-ri, Park Hee-soon dan Lee Hee-joon.

Durasi: 129 menit

Bahasa: Korea

Tahun: 2017

Tersedia: Netflix

Leave a Reply

Shopping cart

0
image/svg+xml

No products in the cart.

Continue Shopping